Tuesday, June 5, 2012


Kualitas Baja Sebagai Material Bangunan Sipil

   Perilaku Mekanik Material Konstruksi
  Kriteria perencanaan struktur adalah memenuhi syarat kekuatan, kekakuan dan daktilitas.
Kekuatan dikaitkan dengan besarnya tegangan yang mampu dipikul tanpa rusak, baik berupa deformasi besar (yielding) atau fracture (terpisah). Parameternya berupa tegangan leleh dan ultimate. Faktor kekakuan adalah besarnya gaya untuk menghasilkan satu unit deformasi, parameternya berupa Modulus Elastisitas. Faktor daktilitas terkait dengan besarnya deformasi sebelum keruntuhan (failure) terjadi, suatu faktor penting untuk perencanaan struktur dengan pembebanan tak terduga atau sukar diprediksi (gempa atau angin). Properti mekanik beberapa macam bahan material konstruksi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Jadi jika parameter kekuatan, kekakuan dan daktilitas digunakan untuk pemilihan material konstruksi maka dapat dengan mudah ditentukan bahwa material baja adalah yang unggul dibandingkan beton dan kayu. Rasio kuat dibanding berat untuk volume yang sama dari baja ternyata lebih tinggi (efisien) dibanding beton. Ini indikasi jika perencanaannya optimal maka bangunan dengan konstruksi baja tentunya akan menghasilkan sistem pondasi yang lebih ringan dibanding konstruksi beton, meskipun masih kalah dibanding kayu atau bambu.
Dikaitkan efisiensi antara material baja dengan kayu atau bambu, maka baja hanya unggul karena kualitas mutu bahannya yang lebih homogen dan konsisten sehingga lebih handal. Itu tidak mengherankan karena material baja adalah produk industri yang dapat terkontrol baik. Jadi, jika material kayu / bambu di Indonesia suatu saat juga didukung teknologi yang dapat menjamin kualitas mutunya homogen dan konsisten maka tentu akan menjadi bahan material konstruksi yang handal juga, khususnya untuk struktur ringan dan semacamnya.
Bangunan yang ringan selain menghemat pondasi, juga menguntungkan untuk perencanaan bangunan tahan gempa. Seperti diketahui bahwa gaya gempa pada bangunan ditentukan oleh percepatan tanah (a) dan juga massa bangunan (m), yang mana besarnya berbanding lurus, yaitu F = m.a . Jadi bangunan dengan massa kecil maka gaya gempanya juga kecil.
Meskipun baja mempunyai keunggulan terhadap gempa karena sifatnya yang ringan, tetapi kondisi tersebut tidak menguntungkan terhadap pembebanan angin. Tetapi karena sifat baja yang mempunyai kekuatan tinggi dan daktail, juga didukung proses perencanaan yang baik maka kelemahan terhadap angin mestinya dapat dengan mudah diatasi.
Sampai tahap ini pemakaian material baja masih terlihat unggul, khususnya jika parameter kekuatan, kekakuan dan daktilitas dijadikan tolok ukur. Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah: “Mengapa sampai saat ini penggunaan konstruksi baja tidak dominan di tanah air”. Bahkan jika melihat pembangunan gedung bertingkat tinggi dan menengah di Jakarta, maka dapat diperkirakan bahwa volume penjualan tulangan baja untuk konstruksi beton bertulang akan lebih banyak dibanding volume penjualan baja profil untuk konstruksi baja. Kondisi ini pula yang mungkin mendasari mengapa masih diperlukan seminar tentang baja seperti ini.
Berarti selain ketiga parameter di atas untuk menentukan material, tentunya ada hal-hal lain yang menjadi pertimbangan sehingga membuat keraguan untuk akhirnya memilih baja. Bisa juga itu terjadi karena pengetahuan para pengambil keputusan adalah tidak lengkap, karena bagaimanapun juga pada konstruksi baja ada banyak keunggulan sehingga berprospek baik, meskipun untuk itu ada hal-hal yang perlu dipersiapkan dengan usaha serius. Oleh karena itulah maka pada makalah ini, penulis cenderung memilih menjabarkan hal-hal tersebut dan strategi mengatasinya, sehingga diharapkan faktor-faktor tersebut tidak menjadi kendala lagi.
Bagaimanapun juga, jika suatu bahan material dipandang unggul dibanding yang lain maka tentunya itu akan otomatis menjadi pilihan. Jika ini terjadi maka jelas dominasi baja sebagai bahan material konstruksi di Indonesia tinggal soal waktu saja.
KUALITAS BAHAN SEBAGAI MATERIAL BANGUNAN

Material Baja




Material baja unggul jika ditinjau dari segi kekuatan, kekakuan dan daktilitasnya. Jadi tidak mengherankan jika di setiap proyek-proyek konstruksi bangunan (jembatan atau gedung) maka baja selalu ditemukan, meskipun tentu saja volumenya tidak harus mendominasi.

Tinjauan dari segi kekuatan, kekakuan dan daktilitas sangat cocok dipakai mengevaluasi struktur yang diberi pembebanan. Tetapi perlu diingat bahwa selain kondisi tadi akan ada pengaruh lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup struktur bangunannya. Jadi pada suatu kondisi tertentu, suatu bangunan bahkan dapat mengalami kerusakan meskipun tanpa diberikan beban sekalipun (belum berfungsi). Jadi ketahanan bahan material konstruksi terhadap lingkungan sekitarnya adalah penting untuk diketahui agar dapat diantisipasi baik.

Kelebihan material baja dibandingkan material beton atau kayu adalah karena buatan pabrik, yang tentunya mempunyai kontrol mutu yang baik. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa kualitas material baja yang dihasilkannya relatif homogen dan konsisten dibanding material lain, yang berarti juga lebih dapat diandalkan mutunya.
Di sisi lain karena merupakan hasil produk industri, maka agar prosesnya menguntungkan harus diusahakan mencapai kondisi optimum. Untuk itu diperlukan suatu kuantitas tertentu yang terkesan relatif monoton serta tidak mudah dibuat variasinya. Itulah pentingnya dibuat standarisasi bentuk profil. Dari tabel profil baja yang ada terlihat banyak sekali profil yang tersedia, tetapi dalam kenyataannya jika peminatnya relatif sedikit maka profil yang jarang dipakai tentunya tidak diproduksi banyak. Jadi akhirnya tidak semua profil pada tabel dapat dipilih. Hanya profil-profil tertentu yang memang umum (banyak) digunakan. Hal ini perlu diketahui insinyur perencana konstruksi baja, jangan hanya berpedoman teoritis hitungan, karena kalau sampai mengubah profil rencana dengan profil tersedia, kemungkinan berubah pula detail sambungan yang dibuat. Jika ini tidak dipikirkan waktu dapat terbuang sia-sia.
Tidak ada jaminan bahwa lokasi pabrik baja akan berdekatan dengan proyek atau bengkel fabrikasi, sehingga panjang profil baja ditentukan oleh kemampuan kendaraan transportasi pengangkut (truk atau kapal) dan jalur transportasi (darat atau air) yang akan dilaluinya.
Ketahanan Korosi
Baja unggul ditinjau dari segi kemampuannya menerima beban, tetapi ketika dibiarkan tanpa perawatan khusus di lingkungan terbuka, terlihat lemahnya. Baja yang unsur utamanya besi mengalami korosi, yaitu suatu proses elektrokimia. Jika itu terjadi, maka pada bagian besi yang bertindak sebagai anode akan terjadi oksidasi yang merusak dan menghasilkan karat besi Fe2O3.nH2O, zat padat berwarna coklat kemerah-merahan. Volume baja berkurang karena menjadi karat tadi. Mengenai bagian besi yang bertindak sebagai anode dan bagian mana yang bertindak sebagai katode tergantung pada banyak faktor, misalnya zat pengotor, atau adanya perbedaan rapatan logam itu, atau ada jenis logam lain yang bersinggungan.
Kemungkinan terjadinya korosi pada baja merupakan kelemahan konstruksi baja disbanding kontruksi beton. Oleh sebab itu saat perencanaan faktor ini harus diantisipasi dengan baik. Korosi yang terjadi pada konstruksi baja adalah ibarat kanker, senyap tetapi akibatnya bias sangat mematikan. Bahkan itu dapat terjadi di negara maju sekalipun, yang mana sebenarnya telah banyak dilakukan penelitian tentang hal itu, tetapi ternyata bisa juga kecolongan.







Meskipun umur konstruksi relatif masih muda (+ 40 tahun), tetapi jembatan I-35 di sungai Mississippi, Minneapolis, Minnesota, USA, yang dibangun tahun 1967 tiba-tiba runtuh pada hari Rabu, tanggal 1 Agustus 2007. Kebetulan saat jam sibuk. Setelah melalui penyelidikan diketahui bahwa penyebabnya adalah korosi logam.

Kata kunci pencegahannya adalah selalu waspada, saat awal perlu hati-hati dalam pemilihan sistem pencegahan korosi yang tepat dan terakhir dukungan perawatan yang berkelanjutan.
Bangunan konstruksi baja memang tidak akan terbakar jika terkena panas api saat kebakaran, tetapi akibat suhu yang tinggi dapat mengalami penurunan kekuatan drastis, bahkan tidak kuat memikul berat sendiri. Sehingga bila terjadi kebakaran yang lama maka bisa saja fungsi sebagai struktur pemikul beban menjadi hilang dan bangunan mengalami keruntuhan total.

Gambar 6a memperlihatkan profil baja setelah kebakaran yang mengalami deformasi ekstrim sehingga fungsinya sebagai struktur jadi terganggu. Untuk mencegah, diberi fireproofing agar kenaikan temperatur ekstrim saat kebakaran dapat dihambat. Harapannya tentu tidak membuatnya menjadi suatu bangunan tahan api, tetapi minimal agar perlu waktu lama untuk terjadi kenaikan temperature, sehingga ada waktu pemadaman api tanpa struktur mengalami kerusakan berarti. Penurunan kekuatan terjadi setelah temperatur melebihi + 300oC, baik dari kuat leleh maupun modulus elastis, dua parameter penting yang berkaitan dengan kekuatan dan kekakuan bahan material. Kurva penurunannya dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
Penambahan bahan fireproofing jelas akan memberikan tambahan beban, sehingga criteria sebagai bangunan ringan menjadi berkurang dan biayanya meningkat. Meskipun demikian karena sifatnya yang melapisi maka hal itu baik juga untuk melindunginya dari resiko korosi. Jadi pemberian fireproofing juga merupakan double protection bagi konstruksi baja.


Pengaruh Temperatur Pemanasan Terhadap Kekuatan Tarik Material Baja Karbon








Proses Hardening mampu meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja, tetapi baja yang telah dikeraskan bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan sehingga perlu pengerjaan lanjut yaitu dengan tempering. Pengujian dilakukan baik pada sifat fisis ( komposisi, struktur mikro dan fotomakro) maupun sifat mekanis (kekerasan dan kekuatan tarik). Hasil penelitian memperoleh kekuatan tarik raw materials sebesar 73,45 kg/mm2 dengan VHN sebesar 190, setelah mengalami proses hardening 8250C kekuatan tarik menjadi 185,07 kg/mm2 dengan VHN sebesar 737,67. Low tempering berkekuatan tarik 123,43 kg/mm2 dengan VHN sebesar 562, medium tempering mempunyai kekuatan tarik 114,14 kg/mm2 dengan VHN sebesar 446,3 sedangkan high tempering berkekuatan tarik 87,73 kg/mm2 dengan VHN sebesar 283. Semakin tinggi suhu pemanasan pada proses tempering kekuatan tarik dan kekerasan semakin menurun, sebaliknya keuletannya meningkat sehingga disesuaikan dengan keperluan.

Perlakuan panas (heat treatment) pada baja mempunyai peran yang sangat pentingdalam upaya mendapatkan sifat-sifat tertentu yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan. Proses ini meliputi pemanasan baja pada suhu tertentu dan dipertahankan pada waktu tertentu serta didinginkan pada media tertentu pula. Perlakuan panas mempunyai tujuan untuk meningkatkan keuletan, menghilangkan tegangan internal (internal stress), menghaluskan ukuran butir kristal dan meningkatkan kekerasan atau tegangan tarik logam.
 Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perlakuan panas, yaitu suhu pemanasan, waktu yang diperlukan pada suhu pemanasan, laju pendinginan dan lingkungan atmosfir. Menurut Fox (1999), bahwa Fatigue Crack Growth Rate (FCGR) pada material Ti 24 yang diuji pada temperatur 723’C di dalam argon lebih tinggi dibandingkan dengan di dalam temperetur ruang. Baja yang telah dikeraskan (quench) bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan, akibat pengejutan akan menjadi sangat keras (sekeras gelas) dan getas.
 Melalui proses tempering kekerasan dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi persyaratan penggunaan karena beban yang kecil saja akan mengakibatkan pecah. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan baja yang keras dan ulet atau tercapainya keuletan setinggi-tingginya pada kekerasan yang memadai, sebab sebagian kekerasan baja akan berkurang oleh proses pemanasan, contohnya pada pahat, palu, mata bor, tap dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas permasalahan utama yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah: berapa besar kekuatan tarik baja C1045 akibat perubahan suhu pemanasan pada proses
tempering.
Perlakuan untuk menghilangkan tegangan dalam dan menguatkan baja dari kerapuhan disebut dengan memudakan (tempering). Tempering didefinisikan sebagai proses pemanasan logam setelah dikeraskan pada temperatur tempering (di bawah suhu kritis), yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (Koswara, 1999). Prosesnya adalah memanaskan kembali berkisar antara suhu 150 – 6500C dan didinginkan secara perlahan-lahan tergantung sifat akhir baja tersebut, menurut Schonmetz (1985) tujuan proses tempering dibedakan sebagai berikut:
a.       Tempering pada suhu rendah (150 - 300oC) Perlakuan ini hanya untuk mengurangi tegangan-tegangan kerut dan kerapuhan dari baja, biasanya untuk alat-alat kerja yang tidak mengalamibeban berat seperti alat-alat potong, mata bor dan sebagainya.
b.      Tempering suhu menengah (300-550oC) Bertujuan untuk menambah keuletan, dan kekerasannya sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat-alat kerja yang mengalami beban berat, misalnya palu, pahat, pegas.
c.       Tempering pada suhu tinggi (550-650oC)
Tempering pada suhu tinggi bertujuan untuk memberikan daya keuletan yangbesar dan sekaligus kekerasannya menjadi agak rendah, misalnya pada roda gigi, poros, batang penggerak dan sebagainya. Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis suatu logam dan paduannya. Pengujian ini paling sering dilakukan karena merupakan dasar pengujian-pengujian dan studi mengenai kekuatan bahan.
Hasil yang diperoleh dari proses pengujian tarik adalah grafik tegangan-regangan, parameter kekuatan dalam dan keliatan material pengujian dalam prosen perpanjangan, kontraksi dan bentuk permukaan patahannya. Bentuk penampang patah dapat diklasifikasikan menurut bentuk tesktur dan warna. Jenis-jenis perpatahan mengenai bentuknya adalah simetri, kerucut mangkok (cup cone), rata (flat), dan tak teratur (irregular). Bermacammacam deskripsi tekstur adalah silky (seperti sutera), butir halus, butir kasar atau granular, berserat (fibrous), kristalin, seperti kaca (glassy) dan pudar. Proses pengujian logam kekerasan dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan terhadap pembebanan dalam perubahan yang tetap. Harga kekerasan bahan tersebut dapat dianalisis dari besarnya beban yang diberikan terhadap luasan bidang yang menerima pembebanan. Pengujian kekerasan logam ini secara garis besarada tiga metode yaitu penekanan, goresan dan dinamik (Koswara, 1991). Pengujian kekerasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode penekanan yaitu Vickers.
METODE
Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah baja karbon C1045 normalisasi dari American Iron and steel Institute (AISI) yang berarti C adalah hasil dapur open hearth steel, 10 adalah baja karbon biasa dan 45 adalah kandungan karbon 0,45 %. Spesimen uji tarik, foto struktur mikro dan kekerasan didasarkan pada standar JIS Z2201 No. 14. Urutan dalam penelitian ini dimulai dari uji komposisi bahan untuk mengetahui kandungan unsur di dalamnya yang digunakan untuk menentukan suhu pemanasan.
Bahan dibentuk spesimen sesuai standar yang ditentukan dan memenuhi persyaratan spesimen sejumlah 15 buah, yaitu masing-masing 3 buah sebagai pembanding utama (raw materials), sebagai kontrol hardening, untuk tempering suhu rendah, untuk tempering suhu sedang dan untuk tempering suhu tinggi. Perlakuan panas dilakukan dalam dapur pemanas, yang pertama yaitu proses hardening pada suhu 8250C (sesuai kadar karbon bahan). Spesimen selain raw material dikenai proses ini, suhu pemanasan dilakukan bertahap mulai suhu kamar, suhu 1500C ditahan sekitar 15 menit, meningkat pada suhu 4500C, dilanjutkan suhu yang dituju yaitu 8250C. Pada suhu akhir ini dipertahankan selama 30 menit dengan maksud agar pemanasan benar-benar merata pada seluruh lapisan spesimen, kemudian dicelup dalam air yang mengalir agar spesimen benar-benar mengalami pendinginan kejut dan spesimen sampai benar-benar dingin.
Proses tempering merupakan pengulangan dari hardening yang didinginkan dengan perlahan. Spesimen yang dikenai tempering dimasukkan dalam dapur pemanas lalu distel dari suhu kamar ke suhu 2750C untuk perlakuan tempering
suhu rendah, pendinginan dilakukan dalam udara bebas. Proses tempering suhu sedang
pada suhu 4250C dan tempering suhu tinggi pada suhu 6000C, masing-masing ditahan selama 30 menit. Spesimen untuk foto struktur mikro dan kekerasan diratakan dan dihaluskan permukaannya sampai memenuhi syarat spesimen, dietsa dengan larutan alkohol dan asam nitrat 2,5% kemudian dilihat dengan mikroskop logam. Pengujian kekerasan dilakukan dengan menggunakan metode Vickers, setiap spesimen dikenai dua titik penekanan. Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui kekuatan, keliatan dan regangan yang dimiliki bahan dari masingmasing perlakuan.
            Melalui pengujian ini dapat diketahui karakteristik bahan dari masing-masing perlakuan. Peralatan Penelitian
Alat penelitian merupakan piranti bantu dalam proses penelitian, yaitu:
1.      Mesin bubut.
2.      Mesin uji komposisi.
3.      Dapur pemanas.
4.      Mikroskop logam.
5.      Mesin uji kekerasan.
6.      Mesin uji tarik servopulser.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yang bertujuan untuk membuat suatu deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis faktual dan akurat mengenai faktor–faktor serta hubunganhubungan antar fenomena yang diselidiki atau diteliti. Pola eksperimen dilakukan dengan 3 buah spesimen untuk masing-masing kelompok perlakuan (treatment) yaitu untuk 3 kali kelompok eksperimen (3 variasi suhu) dan sekali untuk kelompok kontrol yaitu hardening serta sekali untuk kontrol utama atau raw materials. Teknik Pengumpulan Data Lembar pengamatan sangat diperlukan dalam suatu penelitian. Langkah ini akan mempermudah dalam proses pengolahan data selanjutnya.
 Wawancara dengan ahli metalurgi akan memberikan gambaran umum mengenai penelitian yang dilakukan, untuk itu perlu konsultasi dengan pakar/ahli metalurgi sebelum melakukan penelitian dan persiapan bahan serta instrumen lainnya.
Teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan statistika deskriptif yang dilakukan dengan cara melukiskan dan merangkum pengamatan dari penelitian yang dilakukan. Data yang dihasilkan digambarkan secara grafis dalam histogram atau poligon frekuensi sehingga lebih mudah dibaca.
 Pengujian struktur mikro dilakukan dengan cara pengamatan, yaitu membandingkan hasil foto struktur mikro sehingga dapat dianalisis mengenai struktur, ukuran dan bentuk butiran dari masing-masing kelompok perlakuan. Foto makro bentuk penampang patahan juga dapat dianalisis bentuk dan perambatan retak masing-masing perlakuan.